Tarekat dalam Al-Quran dan al-Hadis

Tarekat dalam Al-Quran dan al-Hadis

Thariqah (Ind. Tarekat) adalah jalan yang dilalui oleh orang sufi dalam perjalanannya menuju Tuhan, dan digambarkan sebagai jalan yang berpangkal pada syari’ah, sebab jalan utama disebut syar’ sedangkan anak jalan disebut thariq. Kata ini terambil dari kata tharq yang di antara maknanya adalah “mengetuk” seperti dalam ungkapan tharq al-bab yang berarti “mengetuk pintu”; karena itu, cara beribadah seorang sufi disebut thriqah karena ia dalam ibadahnya selalu mengetuk pintu hatinya dengan dzikrullah. Cara beribadah semacam ini oleh Nabi disebut dengan thariqah hasanah ‘cara yang baik’. Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad ibn Hanbal dalam Musnadnya dengan perawi-perawi tsiqat ‘dipercaya’ Nabi saw bersabda:

“Sesungguhnya seorang hamba jika berpijak pada thariqah yang baik dalam beribadah, kemudian ia sakit, maka dikatakan (oleh Allah) kepada malaikat yang mengurusnya, ‘Tulislah untuk orang itu pahala yang sepadan dengan amalnya apabila ia sembuh sampai Aku menyembuhkannya atau mengembalikannya kepada-Ku.’(Musnad Ahmad, 11: 203.)

Ungkapan thariqah hasanah dalam hadis tersebut menunjukan kepada perlaku hati yang diliputi kondisi ihsan’beribadah seolah –olah melihat Tuhan atau kondisi khusyu’ yakin berjumpa dengan Tuhan dan kembali kepada-Nya,’ (Al-Baqarah, 2: 46) sebab ibadah (misalnya salat) yang dilakukan dengan hati yang lalai oleh Nabi disebut sebagai shalat al-munafiq ‘salatnya orang munafik’, yaitu yang didalamnya ia tidak berdzikir kepada Allah kecuali sedikit (la yadzkurullaha fiha illa qalilan) Shahih Muslim, 1: 434, dan pelakunya oleh Tuhan diancam dengan al-wayl. (Al-Maun, 107: 4-5).
Didalam al-Quran pun kata thariqah muncul dalam konteks dzikrullah sebagai aktualisasi tauhid yang sempurna.
Setelah Allah menjanjikan karunia yang banyak kepada orang-orang yang istiqamah di atas thariqah, Dia langsung memberikan ancaman siksa yang sangat pedih kepada orang yang tidak mau berdzikir kepada-Nya:

“Seandainya mereka istiqamah di atas thariqah niscaya Kami beri minum mereka dengan air yng melimpah (karunia yang banyak): untuk Kami uji mereka di dalamnya, dan barang siapa tidak mau berdzikir kepada Tuhannya, niscaya Dia menimpakan azab yang sangat pedih.” (Al-Jinn, 72: 16-17)

Ibn al-Qayyim al-Jauziyah dalam kitabnya Madarij al-Salikin mengutip perkataan Abu Bakar al-Shiddiq r.a. ketika menyingung ayat tersebut. Sahabat agung ini pernah ditanya mengenai maksud al-istiqamah ala al-thariqah dan ia menjawab, “hendaknya engkau tidak menyekutukan Allah dengan sesuat (an la tusyrika billahi syay-an).” Jadi, kata Ibn al-Qayyim, yang dimaksud (al-istiqamah ‘ala al-thariqah) oleh Abu Bakar al-Shiddiq r.a. adalah al-istiqamah ala mahdhi al-tauhid konsisten di atas tauhid yang murni artinya, thariqah dalam ayat tersebut adalah”jalan menuju tauhid yang murni”.
Tauhid yang murni ini pulalah yang menjadi tujuan syekh-syekh tarekat sebagaimana yang ditegaskan oleh Ibn Taimiyah:

“Tauhid inilah yang dibawa oleh para rasul dan kitab-kitab Allah dan yang diisyaratkan oleh syeikh-syeikh tarekat dan pakar-pakar agama."

Dalam ayat yang lain thariqah disandingkan dengan syari’ah yaitu ketika Allah berfirman:

“Bagi tiap-tiap umat di antara kamu Kami berikan syir’ah (peraturan) dan minhaj (metode).” (Al-Maidah, 5:48)

Ibn Taimiyah menjelaskan bahwa syir’ah dalam ayat tersebut adalah syari’ah (peraturan) sedangkan minhaj adalah thariqah (metode pelaksanaan syari’ah), dan kedua-dua (syari’ah dan thariqah) secara simultan bermuara pada tujuan pokok yang merupakan haqiqat al-din (hakikat agama), yaitu tauhid yang murni, atau hanya menyembah Allah semata (ibadat Allah wahdah).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar