Rabithah sebagai Penghalau Iblis
Melakukan rabithah pada dasarnya
dimaksudkan sebagai realisasi atas perintah berjamaah yang dalam nash
diungkapkan dengan berbagai redaksi. Imam al-Bukhari dalam al-Tarikh
al-Kabir-nya mengutip sebuah hadis Nabi saw, Kalian harus berjamaah
[al-Tarikh al-Kabir, VIII: 447], sementara Imam Ahmad dalam Musnad-nya
meriwayatkan sebuah hadis bahwa Nabi saw. bersabda:
Wahai manusia, kalian harus berjamaah dan hindarilah bercerai-berai [Musnad Ahmad, V: 370].
Imam al-Tirmidzi dan al-Nasai
meriwayatkan dari Ibn Umar bahwa Umar berkhotbah menyampaikan
sabda-sabda Nabi yang di dalamnya antara lain beliau bersabda:
Kalian harus berjamaah dan
hindarilah bercerai (dari jamaah), karena setan bersama orang yang
sendirian [Sunan al-Tirmidzi, IV: 465; al-Sunan al-Kubra, V: 388].
Dalam riwayat Imam al-Baihaqi hadis tersebut diungkapkan dengan redaksi:
Kalian harus berjamaah, karena tangan Allah ada di atas jamaah dan setan bersama orang yang sendirian [Syu’ab al-Iman, VII: 488]
Imam Abu al-Hujjaj al-Mazzi
dalam Tahdzib al-Kamal mengutip ungkapan Ibn Mas’ud yang disampaikan
oleh Amr ibn Maimun dengan redaksi:
Kalian harus berjamaah, karena
sesungguhnya tangan Allah ada di atas jamaah dan Dia sangat menyukai
jamaah [Tahdzib al-Kamal, XXII: 264].
Hadis-hadis di atas semuanya
mengisyaratkan pentingnya berjamaah sebagai ajaran agama yang sangat
fundamental, baik dalam urusan ibadah maupun dalam urusan muamalah,
baik secara jasmani maupun secara rohani.
Dalam
shalat kita dianjurkan berjamaah; bahkan setengah ulama menghukumi
shalat berjamaah itu wajib berdasarkan hadis-hadis Nabi yang antara
lain mengancam akan membakar rumah-rumah penduduk yang dekat dengan
mesjid tetapi penghuninya tidak mau shalat berjamaah [Shahih Muslim, I:
451; Syarh al-Nawawi ‘ala Shahih Muslim, V: 153].
Tujuan
paling pokok dari berjamaah adalah melindungi diri dari gangguan iblis
yang selalu mencari celah untuk memalingkan manusia dari kebenaran
menuju kesesatan, dan mengeluarkan mereka dari cahaya menuju kegelapan.
Kalau
yang dimaksud berjamaah hanya semata-mata berjamaah secara jasmani,
maka efektivitas perlindungan diri tidak akan tercapai secara maksimal,
sebab yang menjadi sarang iblis adalah kalbu manusia, sehingga kalbu
pun harus dikondisikan agar juga berjamaah, yaitu dengan melakukan
rabithah (merabit mursyid).
Rabithah
yang dilakukan secara berkesinambungan melahirkan berbagai fenomena
positif sebagai karunia Tuhan yang jenisnya bergantung kepada
kehendak-Nya, antara lain yang paling utama adalah mengalami atau
merasakan kahadiran Tuhan. Apa yang dialami Nabi Yusuf as. ketika
nyaris terjerumus dalam kemesuman merupakan salah satu indikasi atas
kenyataan ini.
Di dalam al-Quran
diceritakan bahwa Yusuf sudah nyaris melakukan perbuatan mesum bersama
Zulaikha andaikata ia tidak melihat dan mengalami bukti Tuhannya. Ibn
Abbas r.a. menjelaskan, yang dikutip oleh Imam al-Thabari dalam
Tafsir-nya, bahwa ungkapan andaikata Yusuf tidak melihat bukti Tuhannya
dalam surahYusuf ayat ke-24 tersebut adalah andaikata ia tidak melihat
bayangan bentuk wajah ayahnya [Tafsir al-Thabari,XII: 186]. Dari
penjelasan Ibn Abbas ini semakin jelas bahwa Yusuf mengalami rabithah
secara otomatis dengan izin Allah.
Dalam
hal berdzikir kepada Allah khususnya, melakukan rabithah merupakan
keharusan, karena jalan yang ditempuh dalam berdzikir adalah jalan
rohani yang sangat halus dan penuh dengan ranjau-ranjau iblis yang
selalu berusaha memalingkannya dari jalan Allah untuk kemudian
menjerumuskannya ke dalam kesesatan.
Dalam
kaitan inilah Imam al-Nawawi al-Jawi menegaskan dalam kitabnya Nihayah
al-Zayn, Orang yang berdzikir wajib mengikuti salah seorang Imam dari
Imam-imam Tasawuf [Nihayah al-Zayn (Bairut: Dar al-Fikr, t.t.) hlm. 7].
Tidak ada komentar:
Posting Komentar