Kalbu Rasul sebagai Tempat Wasilah
Di dalam al-Quran, Allah SWT membuat perumpamaan tentang Cahaya (nur)-Nya yang diungkapkan dengan redaksi:
"Perumpamaan cahaya-Nya adalah
seperti misykah lobang dinding yang tidak tembus sebagai tempat lampu
yang didalamnya ada mishbah lampu dan mishbah itu ada di dalam Zujajah
kaca." (Al-Nur, 24:35).
Menurut Ka’ab al-Ahbar dan Ibn
Jarir r.a. yang dimaksud Nurihi alam ayat ini adalah Nuri Muhammad, Nur
Muhammad [Tafsir al-Qurthubi, XII: 259]. Ketika ditanya oleh Ibn Abbas
tentang ayat ini, lebih lanjut Ka’ab mengatakan:
"Ini adalah perumpamaan yang
dibuat oleh Allah SWT untuk Nabi-Nya shallallahu ‘alayhi wasallam;
al-misykah adalah dada (jasmani)-nya, al-Zujajah adalah kalbu
(rohani)-nya, sedangkan al-mishbah adalah nubuwat." [Tafsir al-Bughawi,
III: 346].
Komentar senada diungkapkan
oleh Ibn Umar r.a. yang dikeluarkan oleh Imam al-Thabrani, Ibn ‘Adi,
Ibn Mardawiyyah, dan Ibn. ‘Asakir:
"Al-misykah adalah rongga dada
(jasmani) Muhammad saw, al-zujajah kalbu (rohani)-nya sedangkan
al-mishbah adalah nur yang ada didalam kalbunya." [Majma al-Zawaid,
VII:83; al-Mu’jam al-Awsath, II: 235; al-Mu’jam al-Kabir, XII: 317;
Tafsir al-Qurthubi, XII: 263; Fath al-Qadir, IV: 36].
Cahaya (nur) yang ada dalam
kalbu Nabi tersebut, atau yang biasa disebut dengan Nur Muhammad,
termasuk didalamnya al-Quran yang juga disebut dengan Cahaya (nur) yang
diturunkan kedalam kalbunya [Al-Nisa, 4: 174; Al-Baqarah, 2:97]
merupakan cahaya Allah ada dibumi sebagai satu ujung sedangkan ujung
yang lain ada disisi Allah sendiri. Hal ini ditegaskan dengan
kelanjutan firman-Nya dalam ayat yang sama:
"Cahaya (Allah) di atas cahaya (Muhammad); Allah menuntun kepada cahaya-Nya orang yang dikehendaki."
Maksudnya adalah bahwa Cahaya
Allah berhubungan langsung dengan Ccahaya Muhammad, karena pada
hakikatnya Cahaya Allah dan Cahaya Muhammad adalah SATU, dan ditempat
lain digambarkan sebagai tali Allah yang harus dipegangi kuat-kuat.
Dalam kaitan ini Allah berfirman:
Dan berpeganglah secara teguh kepada tali Allah, dan janganlah bercerai-berai. (Ali Imran, 3: 103)
Ayat lain yang tampaknya juga
penting dikemukakan disini untuk memahami keterkaitan Cahaya (Nur)
Tuhan dengan kalbu orang mukmin sebagai singgasana nur itu, disamping
keterkaitannya dengan hidayah, dzikir, dan perjalanan pulang menuju
Tuhan adalah:
Barang siapa yang dilapangkan
Allah dadanya untuk Islam, maka berada diatas Cahaya (Nur) Tuhannya;
maka celakalah orang-orang yang berhati keras sehingga tidak berdzikir
kepada Allah; mereka berada dalam kesesatan yang nyata. (Al-Zumar,
39:22)
Imam al-Qurthubi mengutip
sebuah hadis yang berasal dari Ibn Mas’ud yang mengatakan bahwa para
sahabat bertanya kepada Nabi saw tentang ayat itu, Bagaimana dada orang
itu menjadi lapang? Rasulullah saw menjawab:
Jika Cahaya (Nur) itu masuk ke
dalam kalbunya, maka ia menjadi lapang dan terbuka. Para sahabat masih
bertanya, Apa tanda-tanda hal itu? Rasulullah saw menjawab: Melakukan
perjalanan pulang ke negeri abadi (akhirat) dan meninggalkan negeri
tipu daya (dunia) serta bersiap-siap menjemput kematian sebelum tiba
saatnya [Tafsir al-Qurthubi (Al-Jami’ li Ahkam al-Quran), XV: 247].
Dari informasi di atas semakin
jelas bahwa Cahaya (Nur) Allah SWT bersemayam di dalam kalbu orang yang
dikehendaki lapang dadanya oleh Allah SWT; dan karena kondisi orang
semacam ini dioposisikan dengan orang yang berhati keras sehingga tidak
berdzikir kepada Allah SWT, maka berarti bahwa orang yang didalam
kalbunya terdapat Cahaya (Nur) Allah SWT tiada lain adalah ahli dzikir,
orang yang tidak pernah lepas dari berdzikir kepada Allah SWT. Tidak
seorang pun yang mendapat gelar sebagai ahli dzikir kecuali Nabi SAW
sendiri dan hamba-hamba Allah SWT yang oleh beliau disebut sebagai
mafatih al-dzikr kunci-kunci dzikir; mereka adalah wali-wali Allah yang
apabila mereka dilihat orang maka orang (yang melihat) itu langsung
berdzikir juga. Mereka itulah para ‘ulama yang disebut sebagai waratsah
al-anbiya ahli waris para nabi, yang kepada mereka Allah mewariskan
Al-Quran, sehingga di kalbu mereka itulah wasilah atau Nur Tuhan
bersemayam.
Mencari dan melihat mereka
adalah kewajiban yang diperintahkan Allah kepada orang-orang yang
beriman. Menemukan mereka berarti menemukan wasilah. Dengan wasilah,
mereka akan dapat berhubungan langsung dengan Allah serta memperoleh
manfaat yang sebesar-besarnya dari-Nya, sebagaimana bumi berhubungan
langsung dengan matahari melalui cahayanya sehingga memperoleh manfaat
yang sebesar-besarnya dari matahari itu sendiri Rabithah (Merabit)
Unsur lain yang juga sangat
fundamental dalam thariqah sebagai jalan menuju Tuhan dan sekaligus
sebagai teknik berdzikir efektif adalah rabithah al-mursyid (merabit
mursyid) yang dalam istilah Imam al-Munawi disebut dengan shuhbat
al-mursyid bersahabat dengan mursyid, yaitu ketika ia menyinggung cara
pencapaian akhlak yang terpuji dalam al-Faydh al-Qadir-nya:
Cara memperoleh akhlak yang
terpuji adalah dengan memperbanyak dzikir sambil bersahabat dengan
mursyid yang sempurna [Faydh al-Qadir, III: 467].
Bersahabat dengan mursyid
melahirkan akhlak yang agung, menyemaikan kesadaran keagamaan yang
benar, dan membangkitkan glora cinta ilahi yang tersalur dari kalbu
mursyid ke dalam kalbu murid. Bersahabat dengan mursyid yang sempurna
adalah langkah awal yang harus ditempuh dalam perjalanan menuju Tuhan.
Perjalanan ini sekaligus menjadi sarana diagnosa dan terapi terhadap
penyakit-penyakit yang dijangkitkan oleh virus paling ganas bernama
iblis.
Dalam setiap kalbu terdapat apa
yang disebut hazhzh al-syaithan bagian setan, dan bagian inilah yang
diambil Jibril dari kalbu Nabi Muhammad SAW pada saat Beliau SAW
berusia empat atau lima tahun dan pada saat menjelang keberangkatan
beliau dalam perjalanan malam menuju Tuhan [Shahih Muslim, I: 147;
Shahih Ibn Hibban, XIV: 242; al-Mustadrak, II: 575; Musnad Ahmad, III:
149, 288; Musnad Abi Ya’la,VI: 108, 224; Musnad Abi Awanah, I: 113,
125].
Tidak ada komentar:
Posting Komentar