Tarekat dalam Al-Quran dan al-Hadis

Tarekat dalam Al-Quran dan al-Hadis

Thariqah (Ind. Tarekat) adalah jalan yang dilalui oleh orang sufi dalam perjalanannya menuju Tuhan, dan digambarkan sebagai jalan yang berpangkal pada syari’ah, sebab jalan utama disebut syar’ sedangkan anak jalan disebut thariq. Kata ini terambil dari kata tharq yang di antara maknanya adalah “mengetuk” seperti dalam ungkapan tharq al-bab yang berarti “mengetuk pintu”; karena itu, cara beribadah seorang sufi disebut thriqah karena ia dalam ibadahnya selalu mengetuk pintu hatinya dengan dzikrullah. Cara beribadah semacam ini oleh Nabi disebut dengan thariqah hasanah ‘cara yang baik’. Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad ibn Hanbal dalam Musnadnya dengan perawi-perawi tsiqat ‘dipercaya’ Nabi saw bersabda:

“Sesungguhnya seorang hamba jika berpijak pada thariqah yang baik dalam beribadah, kemudian ia sakit, maka dikatakan (oleh Allah) kepada malaikat yang mengurusnya, ‘Tulislah untuk orang itu pahala yang sepadan dengan amalnya apabila ia sembuh sampai Aku menyembuhkannya atau mengembalikannya kepada-Ku.’(Musnad Ahmad, 11: 203.)

Ungkapan thariqah hasanah dalam hadis tersebut menunjukan kepada perlaku hati yang diliputi kondisi ihsan’beribadah seolah –olah melihat Tuhan atau kondisi khusyu’ yakin berjumpa dengan Tuhan dan kembali kepada-Nya,’ (Al-Baqarah, 2: 46) sebab ibadah (misalnya salat) yang dilakukan dengan hati yang lalai oleh Nabi disebut sebagai shalat al-munafiq ‘salatnya orang munafik’, yaitu yang didalamnya ia tidak berdzikir kepada Allah kecuali sedikit (la yadzkurullaha fiha illa qalilan) Shahih Muslim, 1: 434, dan pelakunya oleh Tuhan diancam dengan al-wayl. (Al-Maun, 107: 4-5).
Didalam al-Quran pun kata thariqah muncul dalam konteks dzikrullah sebagai aktualisasi tauhid yang sempurna.
Setelah Allah menjanjikan karunia yang banyak kepada orang-orang yang istiqamah di atas thariqah, Dia langsung memberikan ancaman siksa yang sangat pedih kepada orang yang tidak mau berdzikir kepada-Nya:

“Seandainya mereka istiqamah di atas thariqah niscaya Kami beri minum mereka dengan air yng melimpah (karunia yang banyak): untuk Kami uji mereka di dalamnya, dan barang siapa tidak mau berdzikir kepada Tuhannya, niscaya Dia menimpakan azab yang sangat pedih.” (Al-Jinn, 72: 16-17)

Ibn al-Qayyim al-Jauziyah dalam kitabnya Madarij al-Salikin mengutip perkataan Abu Bakar al-Shiddiq r.a. ketika menyingung ayat tersebut. Sahabat agung ini pernah ditanya mengenai maksud al-istiqamah ala al-thariqah dan ia menjawab, “hendaknya engkau tidak menyekutukan Allah dengan sesuat (an la tusyrika billahi syay-an).” Jadi, kata Ibn al-Qayyim, yang dimaksud (al-istiqamah ‘ala al-thariqah) oleh Abu Bakar al-Shiddiq r.a. adalah al-istiqamah ala mahdhi al-tauhid konsisten di atas tauhid yang murni artinya, thariqah dalam ayat tersebut adalah”jalan menuju tauhid yang murni”.
Tauhid yang murni ini pulalah yang menjadi tujuan syekh-syekh tarekat sebagaimana yang ditegaskan oleh Ibn Taimiyah:

“Tauhid inilah yang dibawa oleh para rasul dan kitab-kitab Allah dan yang diisyaratkan oleh syeikh-syeikh tarekat dan pakar-pakar agama."

Dalam ayat yang lain thariqah disandingkan dengan syari’ah yaitu ketika Allah berfirman:

“Bagi tiap-tiap umat di antara kamu Kami berikan syir’ah (peraturan) dan minhaj (metode).” (Al-Maidah, 5:48)

Ibn Taimiyah menjelaskan bahwa syir’ah dalam ayat tersebut adalah syari’ah (peraturan) sedangkan minhaj adalah thariqah (metode pelaksanaan syari’ah), dan kedua-dua (syari’ah dan thariqah) secara simultan bermuara pada tujuan pokok yang merupakan haqiqat al-din (hakikat agama), yaitu tauhid yang murni, atau hanya menyembah Allah semata (ibadat Allah wahdah).

Tarekat

Tarekat, Teknik Berdzikir Efektif

Di samping menunjuk kepada pengertian-pengertian yang telah disebutkan sebelumnya, thariqah juga dapat didefinisikan secara singkat sebagai “teknik berdzikir efektif”.
Sebelumnya telah disebutkan bahwa istilah thariqah dalam al-Quran dan al-Hadis digunakan dalam konteks dzikrullah dalam kerangka tauhid. Dalam hadis al-Bukhari berikut kata thuruq (bentuk jamak dari thariq dan thariqah) juga digunakan dalam konteks ini:

“Sesungguhnya Allah mempunyai malaikat-malaikat yang bertugas berkeliling di tarekat-tarekat mencari ahli dzikir. Jika mereka menemukan suatu kaum yang sedang berdzikir kepada Allah, mereka berseru, ‘Sebutkan kebutuhan kalian’.”
Rasulullah SAW melanjutkan sabdanya, “Malaikat-malaikat itu kemudian mengelilingi mereka dengan sayap-sayap mereka hingga ke langit dunia” [shahih al-Bukhari, V: 2353, Shahih Ibn Hibban, III: 139, Musnad Ahmad, II:251].

Kata thuruq ‘tarekat-tarekat atau jalan-jalan’ dalam hadis tersebut menunjukan kepada halaqah atau majelis dzikir. Halaqah artinya lingkaran, dan halaqah dzikir menunjukan kepada makna “sekumpulan orang yang duduk melingkar untuk bersama-sama berdzikir dan bermunajat kepada Allah ‘azza wa jalla”. Dalam hadis yang diriwayatkan oleh Tirmidzi dan Ahmad halaqah dzikr ini disebut oleh Nabi SAW sebagai riyadh al-jannah ‘taman-taman sorga’:

“Jika kamu melewati taman-taman sorga, maka masuklah ke sana”. Para sahabat bertanya, “Apa taman sorga itu?” Nabi menjawab, “Halaqah-halaqah dzikir” [sunan al-Tirmidzi, V:532, Musnad Ahmad, III:150].

Hadis tersebut memerintahkan orang-orang mukmin agar bergabung dengan halaqah dzikir sebagai sebuah majelis yang sangat dicintai Allah. Imam al-Darami meriwayatkan bahwa Luqman al-Hakim pernah memberikan nasehat kepada putranya sebagai berikut:

“Jika kamu melihat suatu kaum yang sedang berdzikir kepada Allah, maka duduklah bersama mereka; sebab, jika kamu orang yang berilmu, maka ilmumu akan bermanfaat, dan jika kamu orang yang tidak berilmu, maka mereka akan mencurahkan rahmat itu kepadamu bersama dengan mereka. Dan jika kamu melihat suatu kaum yang tidak berdzikir kepada Allah, maka janganlah kamu duduk bersama mereka; sebab, jika kamu orang yang berilmu, maka ilmumu tidak akan bermanfaat bagimu, dan jika kamu orang yang tidak berilmu, maka mereka membuatmu semakin bodoh atau sesat; semoga Allah memandang mereka dengan kemurkaan-Nya, lalu menimpakan kemurkaan itu kepadamu bersama dengan mereka” [Sunan al-Darami, I:117-118].

Di dalam al-Quran banyak sekali ayat-ayat yang menyinggung perintah berdzikir dan keutamaannya. Selama ini tidak sedikit ulama yang berpendapat bahwa berdzikir itu hukumnya sunnah, bukan wajib. Pendapat semacam ini sebenarnya tidak dapat dibenarkan karena diantara dalil-dalil yang berkenaan dengan dzikir justru menunjukan kepada hukum wajib.
Dzikir merupakan aktivitas ibadah yang paling tinggi nilainya. Dalam sebuah firman Allah, di samping digunakan lafaz yang memang mengandung makna keagungan dzikir, Allah bahkan masih menggunakan lam al-tawkid (lam yang dibaca fathah dan menunjuk pada makna “sungguh atau sangat”) untuk menegaskan betapa besar keutamaan, nilai, pahala, atau manfaat dzikir, sebagaimana yang sering dibaca khatib Salat Jumat di akhir khutbahnya, “Wa ladzikrullahi akbar ‘sungguh dzikrullah itu akbar’.” (Q.S. 29:45).
Ke-akbar-an kedudukan dzikrullah sebagai amal terbaik juga dipertegas oleh hadis Nabi SAW dalam riwayat Ahmad dengan sanad hasan:

“Maukah kalian kuberitahu amal yang paling baik untuk kalian, amal yang paling suci di sisi Tuhan kalian, amal yang paling mengangkat derajat kalian, amal yang lebih baik bagi kalian daripada menginfakkan emas dan perak, dan amal yang lebih baik bagi kalian daripada menghadapi musuh di medan jihad yang kemudian kalian dan musuh kalian saling menebas leher?”
Para sahabat menjawab, “Tentu, wahai Rasulullah.”
Nabi bersabda.” Dzikrullah”[Musnad Ahmad,V:239].

Selain sebagai amalan yang paling agung, dzikrullah bahkan merupakan inti/ruh semua aktivitas. Setiap aktivitas yang di dalamnya tidak ada dzikrullah adalah sia-sia dan tidak mempunyai nilai apa-pun di mata Allah. Dalam sebuah hadis yang diriwayat oleh Imam al-Nasai, Nabi SAW menyebut aktivitas semacam ini sebagai permainan belaka:

“Segala sesuatu yang tidak bertolak dari dzikrullah adalah permainan” [Al-Sunan al-Kubra, V: 302].

Satu faktor yang menyebabkan dzikrullah menduduki posisi tertinggi dalam keseluruhan aktivitas seorang mukmin terkait erat dengan keberadaanya sebagai pengusir Iblis/Setan dari dalam diri manusia. Tidak dipungkiri bahwa makhluk terkutuk ini selalu menempel di dalam diri manusia sejak manusia itu lahir ke dunia. Imam al-Bukhari meriwayatkan bahwa Nabi SAW bersabda:

“Tidaklah seorang anak-pun dilahirkan kecuali dia pasti disentuh oleh setan [Shahih al-Bukhari, IV:1655].

Dalam bahasa Ibn Abbas yang dikutip oleh Imam al-Hakim dalam al-Mustadrak dan Imam al-Baihaqi dalam Syu’ab al-Iman hadis tersebut diungkapkan dengan kata-kata:

“Tidaklah seorang manusia yang terlahir ke dunia kecuali al-waswas bertengger di hatinya; jika ia melakukan dzikrullah, setan itu menahan diri; tetapi jika ia lalai, setan itu bergerilya membisikan godaan-godaan” [Al-Mustadrak ‘ala al-Shahihayn, II: 590; Syu’ab al-Iman, I: 450].

Ibn Abbas menjelaskan, sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Ibn Abi Syaibah dalam Mushannaf –nya dan dikutip juga oleh Imam Ibn Katsir dan Imam al-Thabari dalam kitab tafsir mereka, bahwa yang dimaksud al-waswas adalah Setan, kemudian ia berkata:

“Setan itu mendekam di kalbu anak Adam; jika ia lupa dan lalai, setan itu membisikkan godaan-godaan, dan jika ia berdzikir kepada Allah, setan itu menahan diri” [Mushannaf Ibn [Syaibah, VII: 135; Tafsir Ibn Katsir, IV:576; Tafsir al-Thabari, XXX:355].

Jadi, tidak diragukan lagi bahwa musuh bebuyutan manusia, sang Iblis, tidak pernah berhenti dari menggoda manusia bahkan sejak manusia pertama Adam diciptakan; dan makhluk-makhluk durhaka ini tidak mungkin dapat dihalau kecuali dengan senjata yang disebut dzikrullah. Hal ini ditegaskan langsung oleh Nabi SAW melalui sabda beliau dalam riwayat Imam Ibn Hibban, Tirmidzi, dan Abu Ya ‘la:

“Seseorang tidak akan bisa melindungi ‘diri’-nya dari setan kecuali hanya dengan dzikrullah” [Shahih Ibni Hibban, XIV:125; Sunan Al-Tirmidzi, V: 148; Musnad Abi Ya’la, III: 141].

Persoalannya, setiap orang sudah berdzikir, sudah biasa menyebut asma Allah dan mengingatNya, tetapi dalam kenyataan mereka tetap terperangkap dalam jebakan-jebakan sang Iblis baik yang tampak maupun yang tersembunyi, seperti dengkil, dendam, ‘ujub, marah, dan penyakit-penyakit hati lainnya yang secara simultan menimbulkan perbuatan-perbuatan keji dan mungkar (al-fakhsya’ wa al-munkar) dalam berbagai bentuknya, dan yang paling layak dipertanyakan adalah bahwa semua itu tidak jarang justru dilakukan oleh orang-orang yang secara lahiriah sudah terbiasa berdzikir. Berbagai kasus yang terjadi di lembaga-lembaga Islam, mulai dari sekolah-sekolah yang berlabel Islam hingga instansi-instansi yang menangani urusan-urusan keagamaan merupakan bukti kegagalan dzikir mereka.
Rahasia kegagalan dzikir mereka sebenarnya hanya terletak dalam satu hal: mereka tidak melibatkan thariqah sebagai “teknik berdzikir efektif”. Logika awam membuktikan bahwa pekerjaan apa pun yang dilakukan dengan tidak melibatkan thariqah ‘teknik/metode/cara’ yang tepat maka sudah dapat dipastikan hasilnya tidak maksimal atau bahkan gagal sama sekali.
Air dan pengolahannya adalah contoh sederhana yang dapat dikemukan di sini.
Dalam kondisi biasa (tanpa teknologi) air hanya berfungsi sebagai pelapas dahaga, mencuci, dan/atau mandi. Dalam kasus ini manfaat air tidak maksimal. Sebaliknya tatkala terhadap air itu diterapkan teknologi tinggi (‘ilm al-thariqah) oleh seorang pakar teknologi yang berkompeten di bidangnya, maka dari pengolahan air itu dapat diciptakan energi raksasa yang sanggup membangkitkan tenaga listrik, menjalankan kereta api, dan bahkan juga dapat berfungsi sebagai peledak yang berkekuatan tinggi.
Kalau air saja dapat diolah menjadi sumber energi raksasa dengan melibatkan teknologi, lalu bagaimana dengan kalimah Allah yang oleh al-Quran disebut sebagai ‘ulya ‘tertinggi’ ( kalimatullahi hiyal ‘ulya)? Bagaimana dengan dzikrullah yang oleh al-Quran digambar kata dengan kata akbar ‘maha hebat’ (wa ladzikrullahi akbar)?!

Disinilah letak urgensi thariqah sebagai “teknik berdzikir efektif”, yaitu agar dzikir yang dilakukan oleh seorang hamba dapat berfungsi maksimal dan mencapai efektivitasnya untuk menghalau sang iblis, terutama, yang tanpa disadarinya telah lama berada di dalam dirinya/hatinya, menjadi biang kerok setiap keangkaramurkaan.
Sebagai “teknik berdzikir efektif” thariqah melibatkan beberapa unsur yang harus difungsikan secara simultan, karena yang satu dengan yang lain memiliki keterkaitan yang sangat erat. Salah satu unsur dari unsur-unsur tersebut adalah dzikir itu sendiri. Yang menjadi fondasi dan ruh semua aktivitas ibadah. Terkait dengan masalah ini, thariqah bahkan dapat dipahami juga sebagai istilah untuk paket-paket dzikir dan tugas-tugas spiritual berdasarkan model kurikulum pembelajaran yang dijadikan sebagai media untuk mencapai kesucian jiwa dan kedamaian hati.

Kualifikasi Mursyid

Dengan menyimak misi, tugas-tugas, dan ciri khas dakwah Rasulullah saw dan para khalifah (pengganti) beliau dapat dipahami bahwa tidak setiap ulama dapat serta-merta menjadi Mursyid terutama dalam kapasitasnya sebagai pemimpin dan guru spiritual, karena diantara ulama ada pula bahkan banyak sekali yang sekedar berbaju ulama tetapi prilakunya justru bertentangan dengan esensi ulama itu sendiri, yaitu takut kepada Allah sebagaimana diisyaratkan al-Quran:

Sesungguhnya yang takut kepada Allah hanyalah ulama (Fathir, 35:28).

Di antara mereka banyak pula yang terbuai oleh harta dan kenikmatan duniawi; mereka tidak berdakwa kecuali upah yang akan diperolehnya sudah jelas. Ulama semacam ini oleh Imam al-Ghazali disebut dengan ulama dunia atau ulama su’ (jahat) :
Diantara perkara-perkara yang paling penting adalah mengetahui tanda-tanda yang membedakan antara ulama dunia dan ulama akhirat. Yang dimaksud dengan ulama dunia disini adalah ulama su’ yang bertujuan mengejar kenikmatan dunia serta memburu kehormatan dan kedudukan di antara ahli ilmu [Ihya Ulum al-Din, I: 58].
Oleh karena itu ketika berbicara tentang kualifikasi seorang Mursyid, Imam al-Ghazali menjadikan kebebasan dari kecintaan terhadap harta dan kedudukan sebagai kriteria awal:

Mursyid adalah orang yang: (1) dari batinnya sudah keluar kecintaan terhadap harta dan kedudukan; (2) format pendidikannya berlangsung di tangan seorang Mursyid juga, dan begitulah seterusnya hingga silsilah itu berakhir pada Nabi saw; (3) mengalami riyadhah (latihan jiwa) seperti sedikit makan, bicara, dan tidur, serta banyak melakukan salat, sedekah dan puasa; (4) memperoleh cahaya dari cahaya-cahaya Nabi saw; (5) terkenal kebaikan biografinya dan kemulian akhlaknya seperti sabar, syukur, tawakal, yakin, damai, dermawan, qanaah, amanah, lemah lembut, rendah hati, berilmu, jujur, berwibawa, malu, tenang, tidak tergesa-gesa, dan lain sebagainya; (6) suci dari akhlaq yang tercela seperti sombong, kikir, dengki, tamak, berangan-angan panjang, gegabah dan lain sebagainya; (7) bebas dari ekstremitas orang-orang yang ekstrem; dan (8) kaya dengan ilmu yang diperoleh langsung dari Rasulullah saw sehingga tidak membutuhkan ilmu orang-orang yang mengada-ada (ilm al-mukallafin) [Khulashah al-Tashanif al-Tashawwuf dalam Majmu Rasail al-Imam al-Ghazali, hlm. 173].

Sedikit berbeda dari Imam al-Ghazali, al-Mukarram Saidi Syekh Prof. Dr. H. Kadirun Yahya mengumumkan kualifikasi sebagai berikut:

1. Pilih Guru yang Mursyid, dicerdikan oleh Allah SWT, bukan dicerdikan oleh yang lain-lain, dengan izin dan ridha Allah, karena Allah.
2. Yang kamil mukamil (sempurna dan menyempurna), diberi karunia oleh Allah, karena Allah.
3. Yang memberi bekas pengajarannya, (kalau ia mengajar atau mendoa berbekas pada si murid, si murid berobah kearah kebaikan), berbekas pengajarannya itu, dengan izin dan ridha Allah, biidznillah.
4. Yang masyhur kesana kemari, kawan dan lawan mengatakan, ia seorang Guru Besar.
5. Yang tidak dapat dicela oleh orang yang berakal akan pengajarannya, yaitu tidak dapat dicela oleh hadits dan Qur’an dan oleh ilmu pengetahuan (tidak bersalah-salahan dengan hadits, Qur’an dan akal).
6. Tidak setengah kasih kepada dunia, karena bulatnya hatinya, kasih kepada Allah. Ia ada giat bergelora dalam dunia, bekerja hebat dalam dunia, tetapi bukan karena kasih kepada dunia itu, tetapi karena prestasinya itu adalah sebagai abdinya kepada Allah SWT dalam hidupnya.
7. Mengambil ilmu dari Polan yang tertentu; Gurunya harus mempunyai tali yang nyata kepada Allah dan Rasul dengan silsilah yang nyata [Ibarat Sekuntum Bunga dari Taman Firdaus, hlm. 173].

Kalbu Rasul sebagai Tempat Wasilah

Kalbu Rasul sebagai Tempat Wasilah

Di dalam al-Quran, Allah SWT membuat perumpamaan tentang Cahaya (nur)-Nya yang diungkapkan dengan redaksi:

"Perumpamaan cahaya-Nya adalah seperti misykah lobang dinding yang tidak tembus sebagai tempat lampu yang didalamnya ada mishbah lampu dan mishbah itu ada di dalam Zujajah kaca." (Al-Nur, 24:35).

Menurut Ka’ab al-Ahbar dan Ibn Jarir r.a. yang dimaksud Nurihi alam ayat ini adalah Nuri Muhammad, Nur Muhammad [Tafsir al-Qurthubi, XII: 259]. Ketika ditanya oleh Ibn Abbas tentang ayat ini, lebih lanjut Ka’ab mengatakan:

"Ini adalah perumpamaan yang dibuat oleh Allah SWT untuk Nabi-Nya shallallahu ‘alayhi wasallam; al-misykah adalah dada (jasmani)-nya, al-Zujajah adalah kalbu (rohani)-nya, sedangkan al-mishbah adalah nubuwat." [Tafsir al-Bughawi, III: 346].

Komentar senada diungkapkan oleh Ibn Umar r.a. yang dikeluarkan oleh Imam al-Thabrani, Ibn ‘Adi, Ibn Mardawiyyah, dan Ibn. ‘Asakir:

"Al-misykah adalah rongga dada (jasmani) Muhammad saw, al-zujajah kalbu (rohani)-nya sedangkan al-mishbah adalah nur yang ada didalam kalbunya." [Majma al-Zawaid, VII:83; al-Mu’jam al-Awsath, II: 235; al-Mu’jam al-Kabir, XII: 317; Tafsir al-Qurthubi, XII: 263; Fath al-Qadir, IV: 36].

Cahaya (nur) yang ada dalam kalbu Nabi tersebut, atau yang biasa disebut dengan Nur Muhammad, termasuk didalamnya al-Quran yang juga disebut dengan Cahaya (nur) yang diturunkan kedalam kalbunya [Al-Nisa, 4: 174; Al-Baqarah, 2:97] merupakan cahaya Allah ada dibumi sebagai satu ujung sedangkan ujung yang lain ada disisi Allah sendiri. Hal ini ditegaskan dengan kelanjutan firman-Nya dalam ayat yang sama:

"Cahaya (Allah) di atas cahaya (Muhammad); Allah menuntun kepada cahaya-Nya orang yang dikehendaki."

Maksudnya adalah bahwa Cahaya Allah berhubungan langsung dengan Ccahaya Muhammad, karena pada hakikatnya Cahaya Allah dan Cahaya Muhammad adalah SATU, dan ditempat lain digambarkan sebagai tali Allah yang harus dipegangi kuat-kuat. Dalam kaitan ini Allah berfirman:

Dan berpeganglah secara teguh kepada tali Allah, dan janganlah bercerai-berai. (Ali Imran, 3: 103)

Ayat lain yang tampaknya juga penting dikemukakan disini untuk memahami keterkaitan Cahaya (Nur) Tuhan dengan kalbu orang mukmin sebagai singgasana nur itu, disamping keterkaitannya dengan hidayah, dzikir, dan perjalanan pulang menuju Tuhan adalah:

Barang siapa yang dilapangkan Allah dadanya untuk Islam, maka berada diatas Cahaya (Nur) Tuhannya; maka celakalah orang-orang yang berhati keras sehingga tidak berdzikir kepada Allah; mereka berada dalam kesesatan yang nyata. (Al-Zumar, 39:22)

Imam al-Qurthubi mengutip sebuah hadis yang berasal dari Ibn Mas’ud yang mengatakan bahwa para sahabat bertanya kepada Nabi saw tentang ayat itu, Bagaimana dada orang itu menjadi lapang? Rasulullah saw menjawab:

Jika Cahaya (Nur) itu masuk ke dalam kalbunya, maka ia menjadi lapang dan terbuka. Para sahabat masih bertanya, Apa tanda-tanda hal itu? Rasulullah saw menjawab: Melakukan perjalanan pulang ke negeri abadi (akhirat) dan meninggalkan negeri tipu daya (dunia) serta bersiap-siap menjemput kematian sebelum tiba saatnya [Tafsir al-Qurthubi (Al-Jami’ li Ahkam al-Quran), XV: 247].

Dari informasi di atas semakin jelas bahwa Cahaya (Nur) Allah SWT bersemayam di dalam kalbu orang yang dikehendaki lapang dadanya oleh Allah SWT; dan karena kondisi orang semacam ini dioposisikan dengan orang yang berhati keras sehingga tidak berdzikir kepada Allah SWT, maka berarti bahwa orang yang didalam kalbunya terdapat Cahaya (Nur) Allah SWT tiada lain adalah ahli dzikir, orang yang tidak pernah lepas dari berdzikir kepada Allah SWT. Tidak seorang pun yang mendapat gelar sebagai ahli dzikir kecuali Nabi SAW sendiri dan hamba-hamba Allah SWT yang oleh beliau disebut sebagai mafatih al-dzikr kunci-kunci dzikir; mereka adalah wali-wali Allah yang apabila mereka dilihat orang maka orang (yang melihat) itu langsung berdzikir juga. Mereka itulah para ‘ulama yang disebut sebagai waratsah al-anbiya ahli waris para nabi, yang kepada mereka Allah mewariskan Al-Quran, sehingga di kalbu mereka itulah wasilah atau Nur Tuhan bersemayam.

Mencari dan melihat mereka adalah kewajiban yang diperintahkan Allah kepada orang-orang yang beriman. Menemukan mereka berarti menemukan wasilah. Dengan wasilah, mereka akan dapat berhubungan langsung dengan Allah serta memperoleh manfaat yang sebesar-besarnya dari-Nya, sebagaimana bumi berhubungan langsung dengan matahari melalui cahayanya sehingga memperoleh manfaat yang sebesar-besarnya dari matahari itu sendiri Rabithah (Merabit)

Unsur lain yang juga sangat fundamental dalam thariqah sebagai jalan menuju Tuhan dan sekaligus sebagai teknik berdzikir efektif adalah rabithah al-mursyid (merabit mursyid) yang dalam istilah Imam al-Munawi disebut dengan shuhbat al-mursyid bersahabat dengan mursyid, yaitu ketika ia menyinggung cara pencapaian akhlak yang terpuji dalam al-Faydh al-Qadir-nya:

Cara memperoleh akhlak yang terpuji adalah dengan memperbanyak dzikir sambil bersahabat dengan mursyid yang sempurna [Faydh al-Qadir, III: 467].

Bersahabat dengan mursyid melahirkan akhlak yang agung, menyemaikan kesadaran keagamaan yang benar, dan membangkitkan glora cinta ilahi yang tersalur dari kalbu mursyid ke dalam kalbu murid. Bersahabat dengan mursyid yang sempurna adalah langkah awal yang harus ditempuh dalam perjalanan menuju Tuhan. Perjalanan ini sekaligus menjadi sarana diagnosa dan terapi terhadap penyakit-penyakit yang dijangkitkan oleh virus paling ganas bernama iblis.

Dalam setiap kalbu terdapat apa yang disebut hazhzh al-syaithan bagian setan, dan bagian inilah yang diambil Jibril dari kalbu Nabi Muhammad SAW pada saat Beliau SAW berusia empat atau lima tahun dan pada saat menjelang keberangkatan beliau dalam perjalanan malam menuju Tuhan [Shahih Muslim, I: 147; Shahih Ibn Hibban, XIV: 242; al-Mustadrak, II: 575; Musnad Ahmad, III: 149, 288; Musnad Abi Ya’la,VI: 108, 224; Musnad Abi Awanah, I: 113, 125].

Tasawuf dalam Pandangan Ibn Taimiyah dan Ibn al-Qayyim

Tasawuf dalam Pandangan Ibn Taimiyah dan Ibn al-Qayyim

Syeikh al-Islam Ibn Taimiyah dan Ibn al-Qayyim al-Jawziyah adalah sepasang guru-murid yang mendukung dan mengakui kebenaran Tasawuf sebagai ilmu yang dapat membersihkan jiwa.
Ibn Taimiyah, misalnya, menyebut para sufi dengan sebutan ahl ‘ulum al-qulub/pakar-pakar ilmu hati’ yang perkataanya paling tepat dan paling baik realisasinya (asaddu wa ajwadu tahqiqan) serta paling jauh dari bid’ah (ab’adu minal bid’ah). Dalam kitabnya yang sangat terkenal Majmu’ al-Fatawa (Beirut: Dar al-Kitab al Arabi, 1973).
Dalam kitabnya Amradh al-Qulub wa Syifauha (Kairo: al-Mathba’ah al-Salafiyyah, 1399), hal. 62, ketika berbicara surah al-Kafirun), Ibn Taimiyah berkata: “Adapun qul ya ayyuhal kafiruun mengundang tauhid amali iradi, tauhid praktis yang didasarkan pada kehendak, yaitu keikhlasan beragama semata-mata untuk Allah dengan sengaja dan dikehendaki; dan itulah yang dibicarakan oleh syeikh-syeikh Tasawuf pada umumnya.

“Imam-imam Tasawuf menjadikan Allah sebagai satu-satunya yang dicintai dengan cinta yang hakiki, bahkan dengan cinta yang paling sempurna.” [Amradh al-Qulub, hal. 68]

Adapun Ibn al-Qayyim, dalam kitabnya Madarij al-Salikhln, I:464 (Beirut: Dar al-Kitab al-Arabi, 1973), memperkatakan mengenai Abu Yazid al-Busthami dengan redaksi:

“Ini (memelihara dan menjauhkan keinginan dari selain Allah yang Maha Suci) seperti kondisi Abu Yazid al-Busthami – semoga Allah merahmatinya – menganai berita tentang dirinya ketika ia ditanya, ‘Apa yang engkau inginkan (kehendak)?’; ia menjawab, ‘Aku ingin agar aku tidak ingin yang kedua (setelah Allah),’ inilah hakikat Tasawuf.”

Dalam kitabnya yang lain Badai al-Fawaid, III:756 (Makkah al-Mukarramah: Maktabah Nizar Mushthafa al-Baz, 1996), Ibn al-Qayyim berkata:

“Tasawuf dan kefakiran (baca: hanya butuh kepada Allah) berada pada wilayah hati”.

Rabithah

Rabithah sebagai Penghalau Iblis

Melakukan rabithah pada dasarnya dimaksudkan sebagai realisasi atas perintah berjamaah yang dalam nash diungkapkan dengan berbagai redaksi. Imam al-Bukhari dalam al-Tarikh al-Kabir-nya mengutip sebuah hadis Nabi saw, Kalian harus berjamaah [al-Tarikh al-Kabir, VIII: 447], sementara Imam Ahmad dalam Musnad-nya meriwayatkan sebuah hadis bahwa Nabi saw. bersabda:

Wahai manusia, kalian harus berjamaah dan hindarilah bercerai-berai [Musnad Ahmad, V: 370].

Imam al-Tirmidzi dan al-Nasai meriwayatkan dari Ibn Umar bahwa Umar berkhotbah menyampaikan sabda-sabda Nabi yang di dalamnya antara lain beliau bersabda:

Kalian harus berjamaah dan hindarilah bercerai (dari jamaah), karena setan bersama orang yang sendirian [Sunan al-Tirmidzi, IV: 465; al-Sunan al-Kubra, V: 388].

Dalam riwayat Imam al-Baihaqi hadis tersebut diungkapkan dengan redaksi:

Kalian harus berjamaah, karena tangan Allah ada di atas jamaah dan setan bersama orang yang sendirian [Syu’ab al-Iman, VII: 488]

Imam Abu al-Hujjaj al-Mazzi dalam Tahdzib al-Kamal mengutip ungkapan Ibn Mas’ud yang disampaikan oleh Amr ibn Maimun dengan redaksi:

Kalian harus berjamaah, karena sesungguhnya tangan Allah ada di atas jamaah dan Dia sangat menyukai jamaah [Tahdzib al-Kamal, XXII: 264].

Hadis-hadis di atas semuanya mengisyaratkan pentingnya berjamaah sebagai ajaran agama yang sangat fundamental, baik dalam urusan ibadah maupun dalam urusan muamalah, baik secara jasmani maupun secara rohani.
Dalam shalat kita dianjurkan berjamaah; bahkan setengah ulama menghukumi shalat berjamaah itu wajib berdasarkan hadis-hadis Nabi yang antara lain mengancam akan membakar rumah-rumah penduduk yang dekat dengan mesjid tetapi penghuninya tidak mau shalat berjamaah [Shahih Muslim, I: 451; Syarh al-Nawawi ‘ala Shahih Muslim, V: 153].
Tujuan paling pokok dari berjamaah adalah melindungi diri dari gangguan iblis yang selalu mencari celah untuk memalingkan manusia dari kebenaran menuju kesesatan, dan mengeluarkan mereka dari cahaya menuju kegelapan.
Kalau yang dimaksud berjamaah hanya semata-mata berjamaah secara jasmani, maka efektivitas perlindungan diri tidak akan tercapai secara maksimal, sebab yang menjadi sarang iblis adalah kalbu manusia, sehingga kalbu pun harus dikondisikan agar juga berjamaah, yaitu dengan melakukan rabithah (merabit mursyid).
Rabithah yang dilakukan secara berkesinambungan melahirkan berbagai fenomena positif sebagai karunia Tuhan yang jenisnya bergantung kepada kehendak-Nya, antara lain yang paling utama adalah mengalami atau merasakan kahadiran Tuhan. Apa yang dialami Nabi Yusuf as. ketika nyaris terjerumus dalam kemesuman merupakan salah satu indikasi atas kenyataan ini.
Di dalam al-Quran diceritakan bahwa Yusuf sudah nyaris melakukan perbuatan mesum bersama Zulaikha andaikata ia tidak melihat dan mengalami bukti Tuhannya. Ibn Abbas r.a. menjelaskan, yang dikutip oleh Imam al-Thabari dalam Tafsir-nya, bahwa ungkapan andaikata Yusuf tidak melihat bukti Tuhannya dalam surahYusuf ayat ke-24 tersebut adalah andaikata ia tidak melihat bayangan bentuk wajah ayahnya [Tafsir al-Thabari,XII: 186]. Dari penjelasan Ibn Abbas ini semakin jelas bahwa Yusuf mengalami rabithah secara otomatis dengan izin Allah.
Dalam hal berdzikir kepada Allah khususnya, melakukan rabithah merupakan keharusan, karena jalan yang ditempuh dalam berdzikir adalah jalan rohani yang sangat halus dan penuh dengan ranjau-ranjau iblis yang selalu berusaha memalingkannya dari jalan Allah untuk kemudian menjerumuskannya ke dalam kesesatan.
Dalam kaitan inilah Imam al-Nawawi al-Jawi menegaskan dalam kitabnya Nihayah al-Zayn, Orang yang berdzikir wajib mengikuti salah seorang Imam dari Imam-imam Tasawuf [Nihayah al-Zayn (Bairut: Dar al-Fikr, t.t.) hlm. 7].

Nur Muhammad SAW

Penciptaan Nur Muhammad SAW

Barang siapa melihat mulutnya akan menjadi mereka yang banyak berpuasa. Barangsiapa yang melihat giginya akan menjadi kelihatan bagus/cantik, dan siapa yang melihat lidahnya akan menjadi utusan /duta raja-raja. Barang siapa melihat tenggorokannya yang penuh barokah akan menjadi khatib dan muadhdhin (yang mengumandangkan adhan).

Barang siapa memandang janggutnya akan menjadi pejuang di jalan Allah. Barang siapa memandang lengan atasnya akan menjadi seorang pemanah atau pengemudi kapal laut, dan barang siapa melihat lehernya akan menjadi usahawan dan pedagang.
Siapa yang melihat tangan kananya akan menjadi seorang pemimpin, dan siapa yang melihat tangan kirinya akan menjadi seorang pembagi (yang menguasai timbangan dan mengukur catu kebutuhan hidup).

Siapa yang melihat telapak tangannya menjadi seorang yang gemar memberi; siapa yang melihat belakang tangannya akan menjadi kolektor. Siapa yang melihat bagian dalam dari tangan kanannya menjadi seorang pelukis; siapa yang melihat ujung jari tangan kanannya akan menjadi seorang calligrapher, dan siapa yang melihat ujung jari tangan kirinya akan menjadi seorang pandai besi.

Siapa yang melihat dadanya yang penuh baraokah akan menjadi seorang terpelajar, meninggalkan keduniaan (ascetic) dan berilmu. Siapa yang melihat punggungnya akan menjadi seorang yang rendah hati dan patuh pada hukum Sharia. Siapa yang melihat sisi badanya yang penuh barokah akan menjadi seorang pejuang. Siapa yang melihat perutnya akan menjadi orang yang puas, dan siapa yang melihat lutut kanannya akan menjadi mereka yang melaksanakan ruk?u dan sujud. Siapa yang melihat kakinya yang penuh barokah akan menjadi seorang pemburu, dan siapa yang melihat telapak kakinya menjadi mereka yang suka bepergian.

Siapa yang melihat bayangannya akan mejadi penyanyi dan pemain saz (lute). Semua yang memandang tetapi tidak melihat apa-apa akan menjadi kaum tak-beriman, pemuja api dan pemuja patung. Mereka yang tidak memandang sama sekali akan menjadi mereka akan menyatakan bahwa dirinya adalah tuhan, seperti Nimrod, Pharoah dan sejenisnya.

Kini semua ruh itu diatur dalam empat baris.

Di baris pertama berdiri ruh para nabi dan rasul, a.s.;
Di baris kedua ditempatkan ruh para orang suci, para sahabat Allah;
Di baris ketiga berdiri ruh kaum beriman, laki dan perempuan;
Di baris ke empat berdiri ruh kaum tak-beriman.

Semua ruh ini tetap berada dalam dunia ruh di hadhirat Allah S.W.T.sampai waktu mereka tiba untuk dikirim ke dunia fisik.
Tidak seorang pun tahu kecuali Allah S.W.T. yang tahu berapa selang waktu dari waktu diciptakannya ruh penuh barokah Nabi Muhammad sampai diturunkannya dia dari dunia ruh ke bentuk fisiknya itu.

Diceritakan bahwa Nabi Suci Muhammad s.a.w. bertanya kepada malaikat Jibra'il ,
Berapa lama sejak engkau diciptakan?

Malaikat itu menjawab, Ya Rasulullah, saya tidak tahu jumlah tahunnya, yang saya tahu bahwa setiap 70,000 tahun seberkas cahaya gilang gemilang menyorot keluar dari belakang kubah Singgasana Ilahiah; sejak waktu saya diciptakan cahaya ini muncul 12,000 kali.

Apakah engkau tahu apakah cahaya itu? bertanya Muhammad s.a.w.
Tidak, saya tidak tahu, berkata malaikat itu. Itu adalah Nur ruhku dalam dunia ruh, jawab Nabi Suci s.a.w. Pertimbangkan kemudian, berapa besar jumlah itu, jika 70,000 dikalikan 12,000 !

Demikianlah sebagian kecil dari kisah tentang Nur Muhammad s.a.w !

dzikir

5 Adab Berdzikir

Untuk melaksanakan dzikir didalam thoriqoh ada tata krama yang harus diperhatikan, yakni adab berdzikir. Semua bentuk ibadah bila tidak menggunakan tata krama atau adab, maka akan sedikit sekali faedahnya. Dalam kitab Al Mafakhir Al-’Aliyah fil Ma-atsir Asy-Syadzaliyah disebutkan pada pasal Adabuddz-Dzikr, sebagaiman dituturkan oleh Asy-Sya’roni bahwa adab berdzikir itu banyak tetapi dapat dikelompokkan menjadi 20 (dua puluh), yang terbagi menjadi tiga bagian; 5 (lima)adab dilakukan sebelum bedzikir, 12 (dua belas)adab dilakukan pada saat berdzikir, 2(dua) adab dilakukan seelah selesai berdzikir.

Adapun 5 (lima ) adab yang harus diperhatikan sebelum berdzikir adalah;

1... Taubat, yang hakekatnya adalah meninggalkan semua perkara yang tidak berfaedah bagi dirinya, baik yang berupa ucapan, perbuatan, atau keinginan.

2... Mandi dan atau wudlu.

3... Diam dan tenang. Hal ini dilakukan agar di dalam dzikir nanti dia dapat memperoleh shidq, artinya hatinya dapat terpusat pada bacaan Allah yang kemudian dibarengi dengan lisannya yang mengucapkan Lailaaha illallah.

4... Menyaksikan dengan hatinya ketika sedang melaksanakan dzikir terhadap himmah syaikh atau guru mursyidnya.

5... Meyakini bahwa dzikir thoriqoh yang didapat dari syaikhnya adalah dzikir yang didapat dari Rasulullah SAW, karena syaikhnya adalah naib (pengganti ) dari Beliau.

Sedangkan 12 (dua belas) adab yang harus diperhatikan pada saat melakukan dzikir adalah;

1... Duduk di tempat yang suci seperti duduknya didalam shalat..

2... Meletakkan kedua telapak tangannya di atas kedua pahanya

3... Mengharumkan tempatnya untuk berdzikir dengan bau wewangian, demikian pula dengan pakaian di badannya.

4... Memakai pakaian yang halal dan suci.

5... Memilih tempat yang gelap dan sepi jika memungkinkan.

6... Memejamkan kedua mata, karena hal itu akan dapat menutup jalan indra dhohir, karena dengan tertutupnya indra dhohir akan menjadi penyebab terbukanya indra hati / bathin.

7... Membayangkan pribadi guru mursyidnya diantara kedua matanya. Dan ini menurut ulama thoriqoh merupakan adab yang sangat penting

8... Jujur dalam berdzikir. Artinya hendaknya seseorang yang berdzikir itu dapat memiliki perasaan yang sama, baik dalam keadaan sepi (sendiri) atau ramai (banyak orang).

9... Ikhlas, yaitu membersihkan amal dari segala ketercampuran. Dengan kejujuran serta keikhlasan seseorang yang berdzikir akan sampai derajat Ash-Shidiqiyah dengan syarat dia mau mengungkapkan segala yang terbesit di dalam hatinya (berupa kebaikan dan keburukan ) kepada syaikhnya.Jika dia tidak mau mengungkapkan hal itu, berarti dia berkhianat dan akan terhalang dari fath (keterbukaan bathiniyah).

10.. Memilih shighot dzikir bacaan La ilaaha illallah, karena bacaan ini memiliki keistimewaan yang tidak didapati pada bacaan-bacaan dzikir syar’i lainnya.

11.. Menghadirkan makna dzikir didalam hatinya.

12.. Mengosongkan hati dari segala apapun selain Allah dengan La ilaaha illallah, agar pengaruh kata “illallah” terhujam didalam hati dan menjalar ke seluruh anggota tubuh.

Dan 3 (tiga) adab setelah berdzikir adalah;

1... Bersikap tenang ketika telah diam (dari dzikirnya), khusyu’ dan menghadirkan hatinya untuk menunggu waridudz-dzkir. Para ulama thoriqoh berkata bahwa bisa jadi waridudz-dzikr datang dan sejenak memakmurkan hati itu pengaruhnya lebih besar dari pada apa yang dihasilkan oleh riyadloh dan mujahadah tiga puluh tahun.

2... Mengulang-ulang pernapasannya berkali-kali. Karena hal ini (menurut ulama thoriqoh) lebih cepat menyinarkan bashiroh, menyingkapkan hijab-hijab dan memutus bisikan-bisikan hawa nafsu dan syetan.

3... Menahan minum air. Karena dzikir dapat menimbulkan hararah (rasa hangat di hati orang yang melakukannya, yang disebabkan oleh syauq dan tahyij (rasa rindu dan gairah) kepada Al-Madzkur/ Allah SWT yang merupakan tujuan utama dari dzikir, sedang meminum air setelah berdzikir akan memadamkan rasa tersebut.

4... Para guru mursyid berkata:”Orang yang berdzikir hendaknya memperhatikan tiga tata krama ini, karena natijah (hasil) dzikirnya hanya akan muncul dengan hal tersebut.”Wallahu a’lam.

Keterangan

1... Himmah para syaikh /guru mursyid adalah keinginan para beliau agar semua muridnya bisa wushul kepada Allah SWT.

2... Sikap duduk pada waktu melakukan dzikir ada perbedaan antara aliran thoriqoh yang satu dengan yang lainnya, bahkan antara satu mursyid dengan yang lainnya dalam satu aliran.Ada yang menggunakan cara duduk seperti duduk di dalam shalat (tawarruk atau iftirasy), ada yang tawarruk di balik artinya kaki kanan yang di masukkan di bawah lutut kaki kiri, ada yang dengan muroba’ (bersila) dan ada yang dengan cara seperti saat di bai’at oleh mursyidnya. Oleh karena ittu maka sikap duduk didalam berdzikir bisa dilakukan sesuai dengan petunjuk guru musyidnya masing- masing.

3... Membayangkan pribadi syaikhnya seakan berada di hadapannya pada saat melakukan dzikir, yang lazim di sebut “rabithah” atau “tashawwur” bagi seorang murid thoriqoh. Hal tersebut lebih berfaidah dan lebih mengena dari pada dzikirnya itu.Karena syaikh adalah washilah /perantara untuk wushul kehadirat sang maha haq ‘azza wa jalla bagi si murid, dan setiap kali bertambah wajah kesesuaian bayangannya bersama syaikhnya maka bertambah pula anugerah- anugerah dalam batiniyahnya, dan dalam waktu dekat akan sampailah dia pada apa yang dicarinya (Allah). Dan lazimnya bagi seorang murid untuk fana’/ lebur lebih dahulu dalam pribadi syaikhnya, kemudian setelah itu ia akan sampai pada fana’/ lebur pada Allah Swt.Wallahu a’lam.

4... Yang dimaksud dengan waridudz dzikir segala sesuatu yang datang atau muncul didalam hati berupa makna-makna atau pengertian-pengertian setelah berdzikir yang bukan dikarenakan oleh usaha kerasnya si pelaku dzikir.

Pengertian Suluk

Pengertian Suluk

Asas pertama tarekat adalah al-iradah, yaitu kehendak atau kemauan bulat untuk selalu mendekatkan diri kepada Allah dengan menapaki jalan-jalan (menujuNya) secara sungguh-sugguh sedemikan rupa sehingga yang bersangkutan benar-benar mengalami dan merasakan (kehadiran) Tuhan (Rukun Ihsan: Seolah-olah beribadah melihat Allah apabila tidak maka sadirilah bahwa Allah melihatnya). Perintah Tuhan mengenai hal ini sangat jelas ketika berfirman:

Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah, dan carilah wasilah, serta bersungguh-sungguhlah menapaki jalan-jalan (menuju kepada)-Nya agar kamu memperoleh kemenangan/kesuksesan. (Al-Maidah, 5:35).

Sebenarnya tidak hanya manusia yang diperintahkan Tuhan untuk menapaki jalan-jalan-Nya lebah-pun bahkan menjadi objek yang di-khitab Tuhan dengan perintah yang sama melalui wahyu yang disampaikan kepadanya, Maka tempuhlah jalan-jalan Tuhan -Mu yang telah dimudahkan untukmu [Al-Nahl, 16: 69]. Dalam kasus lebah ini terdapat tanda ketuhanan yang layak direnungkan oleh murid (orang yang berkehendak bulat bertemu dengan Tuhan). Perjalanan menuju Tuhan tidak mungkin dapat dilakukan, dan jalan-jalan menuju Tuhan pun tidak akan pernah tersingkap, kecuali dengan mujahadah (perjuangan yang sungguh-sungguh) yang dimotori oleh iradah tersebut. Hal ini ditegaskan Tuhan dalam sebuah firman-Nya:

Dan orang-orang yang ber-mujahadah di dalam Kami, kepada mereka Kami benar-benar menunjukkan jalan-jalan menuju Kami; sesungguhnya Allah benar-benar bersama dengan orang yang mengalami ihsan (beribadah seolah-olah melihat Allah). (Al-Ankabut, 29:69).

Dalam wacana sufi perjalanan dalam menempuh jalan-jalan menuju Tuhan disebut dengan suluk dan orang yang melakukan perjalanan disebut salik.
Di dalam suluk para salik menyibukan diri dengan riyadhah (latihan kejiwaan) dalam rangka pendekatan diri kepada Allah (al-taqarrub ilallah) melalui pengamalan ibadah-ibadah faraidh (wajib) dan nawafil (sunnah); semua aktivitas ini dilakukan diatas fondasi dzikrullah, di samping dzikrullah itu sendiri dijadikan sebagai amalan yang berdiri sendiri, lepas dari ibadah-ibadah lainnya, sebagai wujud konkret pengamalan firman Allah dalam sebuah hadis qudsi yang diriwayatkan Imam al-Bukhari dan Muslim:

Aku sesuai dengan prasangka hamba-Ku kepada-Ku, dan Aku bersamanya ketika ia berdzikir kepada-Ku; jika ia berdzikir kepada-Ku dalam dirinya,maka Aku berdzikir kepadanya dalam diri-Ku; jika ia berdzikir kepada-Ku dalam suatu kelompok, maka Aku berdzikir kepadanya dalam kelompok yang lebih baik daripada mereka. Jika ia mendekat kepada-Ku sejengkal, maka Aku mendekat kepadanya sehasta; jika ia mendekat kepada-Ku sehasta; maka Aku mendekat kepadanya sedepa. Jika ia mendatangi-Ku dalam keadaan berjalan, maka Aku mendatanginya dalam keadaan berlari [Shahih al-Bukhari, VI: 2694; Shahih Muslim, IV: 2061].

Intinya semua sunnah Nabi sebagai model al-Quran yang hidup, nyata, dan sempurna, yang dalam bahasa Aisyah diungkapkan dengan redaksi akhlak Nabi adalah al-Quran [Musnad Ahmad, VI: 91; Al-Mu'jam al-Awsath, I: 30], diwujudkan secara konkret dan sungguh-sungguh dalam suluk. Berkekalan dalam wudhu, berdzikir dalam setiap keadaan (berdiri, duduk dan berbaring), berjamaah dalam semua salat wajib, menjaga moderasi antara lapar dan kenyang, menghiasi waktu malam dengan berbagai ibadah dan salat sunah, mengosongkan kalbu dari selain Allah, mengarahkan segenap konsentrasi dan perhatian sebagian contoh sunnah Nabi yang dipraktekkan dalam suluk.
Suluk sekaligus, merupakan jalan menuntut ilmu dan marifah yang dengannya Allah melempangkan jalan menuju sorga yang notabene jalan menuju Allah sendiri karena sorga tidak ada kecuali di sisi Allah. Sebuah hadis Nabi yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari, Muslim, dan imam-imam hadis lainnya, mendukung kenyataan ini:

Barangsiapa yang menempuh jalan untuk mencari ilmu, niscaya Allah memudahkan baginya jalan menuju sorga [Shahih al-Bukhari, I: 37; Shahih Muslim, IV: 2074; Musnad Ahmad, II: 325].