Tarekat

Tarekat, Teknik Berdzikir Efektif

Di samping menunjuk kepada pengertian-pengertian yang telah disebutkan sebelumnya, thariqah juga dapat didefinisikan secara singkat sebagai “teknik berdzikir efektif”.
Sebelumnya telah disebutkan bahwa istilah thariqah dalam al-Quran dan al-Hadis digunakan dalam konteks dzikrullah dalam kerangka tauhid. Dalam hadis al-Bukhari berikut kata thuruq (bentuk jamak dari thariq dan thariqah) juga digunakan dalam konteks ini:

“Sesungguhnya Allah mempunyai malaikat-malaikat yang bertugas berkeliling di tarekat-tarekat mencari ahli dzikir. Jika mereka menemukan suatu kaum yang sedang berdzikir kepada Allah, mereka berseru, ‘Sebutkan kebutuhan kalian’.”
Rasulullah SAW melanjutkan sabdanya, “Malaikat-malaikat itu kemudian mengelilingi mereka dengan sayap-sayap mereka hingga ke langit dunia” [shahih al-Bukhari, V: 2353, Shahih Ibn Hibban, III: 139, Musnad Ahmad, II:251].

Kata thuruq ‘tarekat-tarekat atau jalan-jalan’ dalam hadis tersebut menunjukan kepada halaqah atau majelis dzikir. Halaqah artinya lingkaran, dan halaqah dzikir menunjukan kepada makna “sekumpulan orang yang duduk melingkar untuk bersama-sama berdzikir dan bermunajat kepada Allah ‘azza wa jalla”. Dalam hadis yang diriwayatkan oleh Tirmidzi dan Ahmad halaqah dzikr ini disebut oleh Nabi SAW sebagai riyadh al-jannah ‘taman-taman sorga’:

“Jika kamu melewati taman-taman sorga, maka masuklah ke sana”. Para sahabat bertanya, “Apa taman sorga itu?” Nabi menjawab, “Halaqah-halaqah dzikir” [sunan al-Tirmidzi, V:532, Musnad Ahmad, III:150].

Hadis tersebut memerintahkan orang-orang mukmin agar bergabung dengan halaqah dzikir sebagai sebuah majelis yang sangat dicintai Allah. Imam al-Darami meriwayatkan bahwa Luqman al-Hakim pernah memberikan nasehat kepada putranya sebagai berikut:

“Jika kamu melihat suatu kaum yang sedang berdzikir kepada Allah, maka duduklah bersama mereka; sebab, jika kamu orang yang berilmu, maka ilmumu akan bermanfaat, dan jika kamu orang yang tidak berilmu, maka mereka akan mencurahkan rahmat itu kepadamu bersama dengan mereka. Dan jika kamu melihat suatu kaum yang tidak berdzikir kepada Allah, maka janganlah kamu duduk bersama mereka; sebab, jika kamu orang yang berilmu, maka ilmumu tidak akan bermanfaat bagimu, dan jika kamu orang yang tidak berilmu, maka mereka membuatmu semakin bodoh atau sesat; semoga Allah memandang mereka dengan kemurkaan-Nya, lalu menimpakan kemurkaan itu kepadamu bersama dengan mereka” [Sunan al-Darami, I:117-118].

Di dalam al-Quran banyak sekali ayat-ayat yang menyinggung perintah berdzikir dan keutamaannya. Selama ini tidak sedikit ulama yang berpendapat bahwa berdzikir itu hukumnya sunnah, bukan wajib. Pendapat semacam ini sebenarnya tidak dapat dibenarkan karena diantara dalil-dalil yang berkenaan dengan dzikir justru menunjukan kepada hukum wajib.
Dzikir merupakan aktivitas ibadah yang paling tinggi nilainya. Dalam sebuah firman Allah, di samping digunakan lafaz yang memang mengandung makna keagungan dzikir, Allah bahkan masih menggunakan lam al-tawkid (lam yang dibaca fathah dan menunjuk pada makna “sungguh atau sangat”) untuk menegaskan betapa besar keutamaan, nilai, pahala, atau manfaat dzikir, sebagaimana yang sering dibaca khatib Salat Jumat di akhir khutbahnya, “Wa ladzikrullahi akbar ‘sungguh dzikrullah itu akbar’.” (Q.S. 29:45).
Ke-akbar-an kedudukan dzikrullah sebagai amal terbaik juga dipertegas oleh hadis Nabi SAW dalam riwayat Ahmad dengan sanad hasan:

“Maukah kalian kuberitahu amal yang paling baik untuk kalian, amal yang paling suci di sisi Tuhan kalian, amal yang paling mengangkat derajat kalian, amal yang lebih baik bagi kalian daripada menginfakkan emas dan perak, dan amal yang lebih baik bagi kalian daripada menghadapi musuh di medan jihad yang kemudian kalian dan musuh kalian saling menebas leher?”
Para sahabat menjawab, “Tentu, wahai Rasulullah.”
Nabi bersabda.” Dzikrullah”[Musnad Ahmad,V:239].

Selain sebagai amalan yang paling agung, dzikrullah bahkan merupakan inti/ruh semua aktivitas. Setiap aktivitas yang di dalamnya tidak ada dzikrullah adalah sia-sia dan tidak mempunyai nilai apa-pun di mata Allah. Dalam sebuah hadis yang diriwayat oleh Imam al-Nasai, Nabi SAW menyebut aktivitas semacam ini sebagai permainan belaka:

“Segala sesuatu yang tidak bertolak dari dzikrullah adalah permainan” [Al-Sunan al-Kubra, V: 302].

Satu faktor yang menyebabkan dzikrullah menduduki posisi tertinggi dalam keseluruhan aktivitas seorang mukmin terkait erat dengan keberadaanya sebagai pengusir Iblis/Setan dari dalam diri manusia. Tidak dipungkiri bahwa makhluk terkutuk ini selalu menempel di dalam diri manusia sejak manusia itu lahir ke dunia. Imam al-Bukhari meriwayatkan bahwa Nabi SAW bersabda:

“Tidaklah seorang anak-pun dilahirkan kecuali dia pasti disentuh oleh setan [Shahih al-Bukhari, IV:1655].

Dalam bahasa Ibn Abbas yang dikutip oleh Imam al-Hakim dalam al-Mustadrak dan Imam al-Baihaqi dalam Syu’ab al-Iman hadis tersebut diungkapkan dengan kata-kata:

“Tidaklah seorang manusia yang terlahir ke dunia kecuali al-waswas bertengger di hatinya; jika ia melakukan dzikrullah, setan itu menahan diri; tetapi jika ia lalai, setan itu bergerilya membisikan godaan-godaan” [Al-Mustadrak ‘ala al-Shahihayn, II: 590; Syu’ab al-Iman, I: 450].

Ibn Abbas menjelaskan, sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Ibn Abi Syaibah dalam Mushannaf –nya dan dikutip juga oleh Imam Ibn Katsir dan Imam al-Thabari dalam kitab tafsir mereka, bahwa yang dimaksud al-waswas adalah Setan, kemudian ia berkata:

“Setan itu mendekam di kalbu anak Adam; jika ia lupa dan lalai, setan itu membisikkan godaan-godaan, dan jika ia berdzikir kepada Allah, setan itu menahan diri” [Mushannaf Ibn [Syaibah, VII: 135; Tafsir Ibn Katsir, IV:576; Tafsir al-Thabari, XXX:355].

Jadi, tidak diragukan lagi bahwa musuh bebuyutan manusia, sang Iblis, tidak pernah berhenti dari menggoda manusia bahkan sejak manusia pertama Adam diciptakan; dan makhluk-makhluk durhaka ini tidak mungkin dapat dihalau kecuali dengan senjata yang disebut dzikrullah. Hal ini ditegaskan langsung oleh Nabi SAW melalui sabda beliau dalam riwayat Imam Ibn Hibban, Tirmidzi, dan Abu Ya ‘la:

“Seseorang tidak akan bisa melindungi ‘diri’-nya dari setan kecuali hanya dengan dzikrullah” [Shahih Ibni Hibban, XIV:125; Sunan Al-Tirmidzi, V: 148; Musnad Abi Ya’la, III: 141].

Persoalannya, setiap orang sudah berdzikir, sudah biasa menyebut asma Allah dan mengingatNya, tetapi dalam kenyataan mereka tetap terperangkap dalam jebakan-jebakan sang Iblis baik yang tampak maupun yang tersembunyi, seperti dengkil, dendam, ‘ujub, marah, dan penyakit-penyakit hati lainnya yang secara simultan menimbulkan perbuatan-perbuatan keji dan mungkar (al-fakhsya’ wa al-munkar) dalam berbagai bentuknya, dan yang paling layak dipertanyakan adalah bahwa semua itu tidak jarang justru dilakukan oleh orang-orang yang secara lahiriah sudah terbiasa berdzikir. Berbagai kasus yang terjadi di lembaga-lembaga Islam, mulai dari sekolah-sekolah yang berlabel Islam hingga instansi-instansi yang menangani urusan-urusan keagamaan merupakan bukti kegagalan dzikir mereka.
Rahasia kegagalan dzikir mereka sebenarnya hanya terletak dalam satu hal: mereka tidak melibatkan thariqah sebagai “teknik berdzikir efektif”. Logika awam membuktikan bahwa pekerjaan apa pun yang dilakukan dengan tidak melibatkan thariqah ‘teknik/metode/cara’ yang tepat maka sudah dapat dipastikan hasilnya tidak maksimal atau bahkan gagal sama sekali.
Air dan pengolahannya adalah contoh sederhana yang dapat dikemukan di sini.
Dalam kondisi biasa (tanpa teknologi) air hanya berfungsi sebagai pelapas dahaga, mencuci, dan/atau mandi. Dalam kasus ini manfaat air tidak maksimal. Sebaliknya tatkala terhadap air itu diterapkan teknologi tinggi (‘ilm al-thariqah) oleh seorang pakar teknologi yang berkompeten di bidangnya, maka dari pengolahan air itu dapat diciptakan energi raksasa yang sanggup membangkitkan tenaga listrik, menjalankan kereta api, dan bahkan juga dapat berfungsi sebagai peledak yang berkekuatan tinggi.
Kalau air saja dapat diolah menjadi sumber energi raksasa dengan melibatkan teknologi, lalu bagaimana dengan kalimah Allah yang oleh al-Quran disebut sebagai ‘ulya ‘tertinggi’ ( kalimatullahi hiyal ‘ulya)? Bagaimana dengan dzikrullah yang oleh al-Quran digambar kata dengan kata akbar ‘maha hebat’ (wa ladzikrullahi akbar)?!

Disinilah letak urgensi thariqah sebagai “teknik berdzikir efektif”, yaitu agar dzikir yang dilakukan oleh seorang hamba dapat berfungsi maksimal dan mencapai efektivitasnya untuk menghalau sang iblis, terutama, yang tanpa disadarinya telah lama berada di dalam dirinya/hatinya, menjadi biang kerok setiap keangkaramurkaan.
Sebagai “teknik berdzikir efektif” thariqah melibatkan beberapa unsur yang harus difungsikan secara simultan, karena yang satu dengan yang lain memiliki keterkaitan yang sangat erat. Salah satu unsur dari unsur-unsur tersebut adalah dzikir itu sendiri. Yang menjadi fondasi dan ruh semua aktivitas ibadah. Terkait dengan masalah ini, thariqah bahkan dapat dipahami juga sebagai istilah untuk paket-paket dzikir dan tugas-tugas spiritual berdasarkan model kurikulum pembelajaran yang dijadikan sebagai media untuk mencapai kesucian jiwa dan kedamaian hati.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar