Kualifikasi Mursyid

Dengan menyimak misi, tugas-tugas, dan ciri khas dakwah Rasulullah saw dan para khalifah (pengganti) beliau dapat dipahami bahwa tidak setiap ulama dapat serta-merta menjadi Mursyid terutama dalam kapasitasnya sebagai pemimpin dan guru spiritual, karena diantara ulama ada pula bahkan banyak sekali yang sekedar berbaju ulama tetapi prilakunya justru bertentangan dengan esensi ulama itu sendiri, yaitu takut kepada Allah sebagaimana diisyaratkan al-Quran:

Sesungguhnya yang takut kepada Allah hanyalah ulama (Fathir, 35:28).

Di antara mereka banyak pula yang terbuai oleh harta dan kenikmatan duniawi; mereka tidak berdakwa kecuali upah yang akan diperolehnya sudah jelas. Ulama semacam ini oleh Imam al-Ghazali disebut dengan ulama dunia atau ulama su’ (jahat) :
Diantara perkara-perkara yang paling penting adalah mengetahui tanda-tanda yang membedakan antara ulama dunia dan ulama akhirat. Yang dimaksud dengan ulama dunia disini adalah ulama su’ yang bertujuan mengejar kenikmatan dunia serta memburu kehormatan dan kedudukan di antara ahli ilmu [Ihya Ulum al-Din, I: 58].
Oleh karena itu ketika berbicara tentang kualifikasi seorang Mursyid, Imam al-Ghazali menjadikan kebebasan dari kecintaan terhadap harta dan kedudukan sebagai kriteria awal:

Mursyid adalah orang yang: (1) dari batinnya sudah keluar kecintaan terhadap harta dan kedudukan; (2) format pendidikannya berlangsung di tangan seorang Mursyid juga, dan begitulah seterusnya hingga silsilah itu berakhir pada Nabi saw; (3) mengalami riyadhah (latihan jiwa) seperti sedikit makan, bicara, dan tidur, serta banyak melakukan salat, sedekah dan puasa; (4) memperoleh cahaya dari cahaya-cahaya Nabi saw; (5) terkenal kebaikan biografinya dan kemulian akhlaknya seperti sabar, syukur, tawakal, yakin, damai, dermawan, qanaah, amanah, lemah lembut, rendah hati, berilmu, jujur, berwibawa, malu, tenang, tidak tergesa-gesa, dan lain sebagainya; (6) suci dari akhlaq yang tercela seperti sombong, kikir, dengki, tamak, berangan-angan panjang, gegabah dan lain sebagainya; (7) bebas dari ekstremitas orang-orang yang ekstrem; dan (8) kaya dengan ilmu yang diperoleh langsung dari Rasulullah saw sehingga tidak membutuhkan ilmu orang-orang yang mengada-ada (ilm al-mukallafin) [Khulashah al-Tashanif al-Tashawwuf dalam Majmu Rasail al-Imam al-Ghazali, hlm. 173].

Sedikit berbeda dari Imam al-Ghazali, al-Mukarram Saidi Syekh Prof. Dr. H. Kadirun Yahya mengumumkan kualifikasi sebagai berikut:

1. Pilih Guru yang Mursyid, dicerdikan oleh Allah SWT, bukan dicerdikan oleh yang lain-lain, dengan izin dan ridha Allah, karena Allah.
2. Yang kamil mukamil (sempurna dan menyempurna), diberi karunia oleh Allah, karena Allah.
3. Yang memberi bekas pengajarannya, (kalau ia mengajar atau mendoa berbekas pada si murid, si murid berobah kearah kebaikan), berbekas pengajarannya itu, dengan izin dan ridha Allah, biidznillah.
4. Yang masyhur kesana kemari, kawan dan lawan mengatakan, ia seorang Guru Besar.
5. Yang tidak dapat dicela oleh orang yang berakal akan pengajarannya, yaitu tidak dapat dicela oleh hadits dan Qur’an dan oleh ilmu pengetahuan (tidak bersalah-salahan dengan hadits, Qur’an dan akal).
6. Tidak setengah kasih kepada dunia, karena bulatnya hatinya, kasih kepada Allah. Ia ada giat bergelora dalam dunia, bekerja hebat dalam dunia, tetapi bukan karena kasih kepada dunia itu, tetapi karena prestasinya itu adalah sebagai abdinya kepada Allah SWT dalam hidupnya.
7. Mengambil ilmu dari Polan yang tertentu; Gurunya harus mempunyai tali yang nyata kepada Allah dan Rasul dengan silsilah yang nyata [Ibarat Sekuntum Bunga dari Taman Firdaus, hlm. 173].

Tidak ada komentar:

Posting Komentar